Ketidaksempurnaan Dalam Karya Malah Membuatnya Makin Indah – Ketika menggali-gali ide tantangan blogging MGN November 2025 dengan tema “Diluar Logika”, saya agak bingung mau menulis apa. Ternyata habis bolak-balik ngobrol dengan Artificial Intelligence (AI), saya tertarik dengan satu bahasan.
Uniknya dan surprisingly, topik ini sangat berhubungan dengan keheranan saya. Yaitu keheranan akan fenomena dan maraknya penggunaan AI dalam generate gambar dan ilustrasi yang rata-rata hasilnya…kosong. Kenapa gambar hasil AI walau terlihat sempurna terasa ‘hambar’?
Pada awalnya, ada rasa kekaguman dengan hasil generate gambar AI. Tentunya semua bergantung prompt atau perintah, tapi hasil dari ‘kompor’ AI biasanya dihasilkan sempurna; simetris, harmonis, terpadu dan sinkron.
Topik ini juga membawa saya merenung ke kecondongan saya ke beberapa media berkarya lainnya. Seperti kenapa saya suka foto analog seperti yang dihasilkan lomo, kenapa saya lebih suka ngeblog dan kenapa saya kembali suka menulis handwriting seperti journaling. Ah, ternyata..ada cerita dan filosofinya lho.
Standar, stigma ketidaksempurnaan atau image ideal sudah ada sejak dulu menyebabkan ada tekanan untuk menjadi sempurna. Contohnya mengejar ranking tinggi di kelas, menulis yang rapi, masuk sekolah bergengsi atau bahkan beauty pageant.
Kenapa harus ada “ukuran” kesempurnaan ini? Mungkin karena tolak ukur dibutuhkan untuk menciptakan standar. Ada keteraturan dan keseragaman. Menurut AI, “ukuran kesempurnaan” memberikan manusia rasa kendali dan prediktabilitas.
Keindahan dalam sudut pandang tradisional di Barat dan Yunani Klasik adalah sesuatu yang dinilai simetris dan harmonis. Jika ada kekurangan seperti kerutan atau retakan maka dianggap harus diperbaiki atau disembunyikan.
Meski jaman sudah banyak berubah dan teori ini juga banyak ditentang, pengukuran keindahan masa kini masih didominasi paham klasik ini.
Belum lagi dengan adanya media (termasuk medsos) yang cenderung menekankan kesempurnaan dari segi kecantikan dan standar kesuksesan. Berbagai imej gaya hidup yang sempurna dan terpoles menampakkan sesuatu yang berbeda dari aslinya.
Ternyata setelah ditelusuri, hasil generate image yang dihasilkan AI itu mengacu pada paham keindahan dari Barat dan Yunani. Kecuali jika user meminta khusus prompt yang berbeda.
Nah! Baru masuk akal, kenapa hasil generate gambar AI terasa ganjil meskipun secara teori dan prakteknya ideal.
Di Jepang ada filosofi yang dinamakan wabi-sabi. Yaitu sebuah filosofi yang justru menerima ketidaksempurnaan, apakah itu kerutan, cacat dan lainnya. Sebuah konsep untuk menerima kekurangan tersebut dengan perasaan yang terbuka dan keberanian untuk tampak berbeda.
Seperti, kayu yang sudah tua, keramik yang retak (namun retaknya diisi dengan serbuk emas sehingga kembali cantik) yang disebut Kintsugi, seni merangkai bunga Jepang dan sebagainya.
Ketidaksempurnaan dalam karya bisa malah menunjukkan keunikan dan sentuhan manusia. Berbagai ketidaksempurnaan itu justru menunjukkan bahwa karya itu nyata.
Bahwa sesuatu memiliki jiwa dan otentik. Tidak diproduksi massal dan ‘kosong’ seperti gerakan robot. Ketidaksempurnaan juga mengingatkan kita akan hal-hal berumur dan tidak kekal.
Misalnya bangunan tua yang sudah retak tapi punya sejarah di baliknya, wajah manusia yang memiliki kerutan, goresan tangan yang tidak lurus atau asimetris, celana jeans yang sudah usang, furniture tua yang rustic dan sebagainya.Bukankah menurutmu ketidaksempurnaan tersebut membuat sesuatu lebih menarik?
Nah apa saja ya contoh dari ketidaksempurnaan yang sempurna ini di keseharian kita?
Kalau melihat dari keseharian atau dari kehidupan sehari-hari.. sebenarnya ada banyak contohnya. Misalnya dalam menulis blog.
Daya tarik menulis blog adalah gaya penulisan masing-masing yang natural dan tidak terlalu fokus akan kesempurnaan ejaan. Dengan menunjukkan ketidaksempurnaan dan sedikit kerapuhan, malah bisa lebih menarik untuk dibaca.
Dulu saya suka dengan hasil foto kamera mainan, karena hasilnya yang bisa tidak terduga. Adanya light leak (bocoran cahaya), blur (kabur), ada rol film yang terbakar dan lainnya malah membuat fotografi jadi sangat menarik.
Dulu ketika diajak hunting foto ramai-ramai dengan kamera digital biasa saya kok malah gampang jenuh. Sepertinya karena hasilnya sudah sangat terduga.
Ketika menulis jurnal, adanya coretan dan highlight spidol yang tidak rata, malah membuat keseluruhan tampilan tulisan terasa lebih hidup. Beberapa yang suka junk journal dan art journaling malah makin unik karena tiap pekerjaan tangan menghasilkan karya yang otentik. Tak hanya otentik, tapi pasti ada ketidaksempurnaan di dalamnya. Misalnya tulisan yang miring-miring, guntingan yang kurang sempurna atau gambar doodling yang asimetris.
Dalam melihat karya anak-anak, sudah bisa dipastikan ada ketidaksempurnaan. Karena mereka masih berkembang dan belajar. Lalu, belajar seni ketika masih anak-anak harusnya lebih mengedepankan bentuk mereka berekspresi, bukannya kesempurnaan.
Lihat saja tren feed sosmed sekarang yang suka bergaya scrapbook, bukankah memperlihatkan ketidakteraturan dan layout objek secara ‘acak’? Walau tetap saja ada keseragaman visual.
Tapi kenapa ya kekurangan dan ketidakteraturan ini malah membuatnya menarik?
Segala sesuatu yang terlalu seragam dan teratur akan mengakibatkan rasa jenuh. Seperti halnya rutinitas harian kantoran atau ibu rumah tangga, tentu ada kalanya harus dijeda atau ada waktu rehat. Karena manusia bukanlah robot atau mesin.
Ketidaksempurnaan atau kekurangan justru memperlihatkan sesuatu yang nyata atau relatable. Dapat menghubungkan diri kita dengan orang lain.
Seperti tulisan blog yang ditulis dari hati, ternyata bisa menarik hati pengunjung yang sama sekali tidak mengenal kita. Membuat orang mengambil waktu untuk berkomentar di tulisan kita tanpa diminta.
Hasil kerajinan yang dibuat dari tangan terkadang lebih terasa jiwanya. Kita bisa melihat craftsmanship dan ketekunan pembuatnya untuk menciptakan kerajinan yang ideal, meskipun akhirnya karya itu tidak sempurna.
Ada cerita dibalik ketidaksempurnaan itu. Jika dibandingkan dengan kesempurnaan total, tentu lebih ada ruang jiwanya.
Nah, bagaimana kalau kita seseorang yang mengejar kesempurnaan atau idealisme? Bagaimana menikmati ketidaksempurnaan?
Mungkin dibandingkan mengejar kesempurnaan, kita harus meniru ilmu wabi-sabi. Yaitu menerimanya dan bahkan mengolahnya menjadi sesuatu yang bisa dipakai lagi.
Tak perlu langsung mengejar idealisme (karena ini sering terjadi ketika baru mulai, jadi sudah ‘demam panggung’ duluan). Terutama jika baru mulai. Kita bisa fokus pada berproses dibandingkan hasil saja.
Dan segala sesuatu tak perlu juga di-posting di sosmed. Apalagi kalau tidak siap dikritik. Alhamdulillah kita hidup di era dimana ketidaksempurnaan sudah banyak diterima. Dan bahkan dirangkul.
Karena jika segala sesuatu indah secara sempurna dan ideal, dimanakah letak karakteristiknya dan keunikannya? Apalagi dari fitrahnya, manusia memang memiliki kekurangan.
***
Mungkin, kecenderungan saya yang lebih suka ketidaksempurnaan dan sesuatu yang terlalu ideal, berdasar dari roots saya yang juga orang Asia. Alias dekat dengan kultur Jepang dengan paham wabi-sabinya.
Meskipun secara logika dan teori sesuatu itu dikatakan sempurna, ternyata tidak melulu berarti disukai dan mungkin diterima. Dan dianggap ‘utuh’.
Apa kamu punya pendapat yang sama? Kalau kamu punya cerita, yuk bagikan momen ketika ketidaksempurnaan malah membuat sesuatu jadi sempurna.
https://id.wikipedia.org/wiki/Wabi-sabi
https://id.wikipedia.org/wiki/Estetika#Sejarah_penilaian_keindahan
Apa itu Art journaling, bagaimana memulainya dan pengaruhnya ke mental Ibu? Baca yuk disini
Dengan masifnya penggunaan AI dan teknologi digital, wajar ada kejenuhan. Selami kembali inner artist atau…
Never Let Me Go: Mengapa Saya Lebih Suka Adaptasi Film Dibanding Novelnya - Tema Tantangan…
Dari belajar Etsy, launching ebook Cerita Kuliner sampai sharing pengalaman di WAG Belajar Produk Digital,…
Canva dan Artificial Intelligence (AI) kini jadi dua pilihan utama untuk membuat desain template. Mana…
Update mengenai redesign jurnal refleksi Ibu, Mentari Journal dan versi Bahasa Inggrisnya, Sunrise Journal. Ini…
This website uses cookies.
View Comments
Sepakat teh. Hasil gambar AI terlalu perfect dan membuat bosan. Ternyata kiblat gayanya dari Barat dan Yunani ya. Meski tak jarang “cacat” juga hasil generate-nya. Ya itu ketidaksempurnaan AI ya