Cara Terkoneksi dengan Inner Artist (Lagi) – Ketika kamu sudah jadi Ibu dan waktu muda kamu suka berkesenian, ada banyak hal yang terjadi. Bisa saja kamu lupa bahwa kamu suka lho melukis, mendesain atau buat art and craft. Kamu bahkan berusaha menjadwalkan kegiatan kreatif. Tapi tetap saja, nggak selalu kejadian untuk kembali berkegiatan seni.
Sudah beberapa tahun saya fokus bekerja lepas dan kegiatan-kegiatan itu ngga selalu berhubungan dengan seni. Kerjaan lepas saya kini lebih kepada logika dan akurasi. Tentu saja, banyak dari kita yang day job-nya nggak ada hubungannya sama sekali dengan seni dan desain. Walaupun dulu kita hobby atau bahkan dulu belajar di bidang kesenian dan desain.
Untuk kembali merasa fulfilled secara kreatif, kita perlu menyelami kembali inner artist kita. Kalau ngga, mungkin kita bisa menjadi sosok yang kita sendiri ngga suka.
Nah ada beberapa hal yang membuat saya pribadi jadi ingin kembali menyelami sosok nyeni di diri. Ini salah satunya:
Serentetan kejadian di tahun ini khususnya buat saya jenuh sangat dengan komputer. Tentu saya menghargai keran rejeki saya salah satunya dari internet alias bekerja remote. Tapi bukan itu sih yang saya maksud. Lebih kepada masifnya kita di masa kini dengan Artificial Intelligence (AI).
Saya lebih menyelami penggunaan AI waktu menulis Manfaat AI untuk Blogging. Kemudian bahkan terbantu membuat produk digital dengan AI. Namun saya melihat di social media, orang-orang begitu sangat gandrung dengan AI sampai-sampai etika dan adabnya kurang digunakan. Seperti yang pernah saya katakan, AI untuk generate seni itu ngga bagus.
Bukan cuma sampai gaya gambar Ghibli milik Hayao Miyazaki yang ngetren di momen lebaran tahun 2025. Setiap ada ilustrasi dipajang di sosmed, mereka mencari engagement dari situ dan menjual prompt-nya. Rasanya setiap foto atau ilustrasi bagus, sudah wajar orang bertanya, “Prompt-nya apa?” Seakan-akan, jadi aneh ketika ilustrasi masih digambar pakai tangan.
Seorang teman cerita ia sedih karyanya kurang laku karena bersaing dengan buatan AI (dengan harga yang sangat murah). Seorang kenalan yang punya usaha makanan dan memotret makanannya dengan susah payah, fotonya diambil untuk di-generate ulang oleh AI dan si pencomot ngga mengaku dia mengambil foto itu.
Saya agak capek lihat foto, video dan ilustrasi hasil dari AI. Tentu saya mengerti kebutuhan kita untuk desain kadang tidak kenal waktu dan butuh secepatnya. Tapi plis, jangan lupa kita juga manusia yang dibekali akal dan adab.
Karena hal-hal di atas, saya berusaha tetap ‘murni’ dengan memakai gambar buatan tangan di beberapa proyek. Mungkin sisi kesenian saya tersinggung dengan keberadaan AI. Kalau saya bisa sendiri, ya kenapa ngga dilakukan?
Ngga cuma menggambar doodle untuk membuat sampul buku digital dan printables journaling 5 menit, saya jadi suka melihat konten-konten melukis cat air di sosmed.
Keinginan untuk melukis sudah lama ada, sejak anak masih bayi, saya suka beli notepad dengan kertas khusus watercolor. Bahkan hingga tahun lalu, ketika saya lebih sibuk lagi, beli stationery anak sekalian beli buku sketsa melukis (sebenarnya biar belanjanya ngga kebalap harga ongkir juga).
Akhirnya saya mencoba beberapa hal baru, seperti illustrated day journaling dan art journaling (maklum masih suka dengan menulis jurnal). Beberapa blogger dan content creator luar menginspirasi untuk memulainya. Saya menikmati kegiatan ini karena merupakan kegiatan me-time tanpa harus pakai layar.
Event Pasar Seni 2025 lalu buat saya lebih nostalgia lagi ke masa kuliah, masa dimana kreativitas sangat digempur untuk berlomba berkarya seunik mungkin (dan tidak banyak dibenturkan oleh aturan). Saya ngga datang, tapi merasakan euphoria-nya di dokumentasi teman-teman dan hype-nya di media sosial.
Kalau menilik dari kejadian sebelum AI lebih digandrungi, membuat desain tipis-tipis untuk komunitas ternyata juga suatu bentuk terkoneksi dengan sisi desainer saya. Dengan tools memakai Canva, 2 tahun terakhir seperti saya jadi bermain-main dengan kesempatan membuat keperluan desain komunitas MGN. Dan juga untuk blog sendiri.
Tertimbun dengan banyaknya kegiatan dan tanggung jawab, inner artist itu ngga mati. Cuma butuh dihidupkan dan diundang kembali.
Banyak yang ingin tapi lupa atau ‘tidak sempat’. Sebenarnya kita cuma butuh beberapa hal ini:
Sama seperti diet atau memulai kebiasaan baru, kamu butuh motivasi dan alasan yang kuat untuk terkoneksi lagi dengan jiwa seniman-mu.
Maaf, alasan untuk mencari pemasukan dari mengonten (berkesenian untuk dijadikan konten) bisa jadi akan membuatmu ngga suka berkesenian dalam jangka waktu panjang. Kecuali kamu mengonten dengan ritme santai atau tidak kejar engagement.
Saya kepikiran untuk mengonten topik ini, tapi akhirnya saya mengurungkan niat. Alasannya karena belum ahli dan merasa waktu berkesenian jadi lebih berharga ketika dilakukan privat.
Jadi, carilah motivasi kuat kenapa mau memulai nyeni lagi. Kalau saya salah satunya biar ngga selalu menatap layar.
Carilah dan selami sebanyak-banyaknya referensi seni dan desain yang kamu suka. Bisa dari konten di sosmed atau mungkin lebih afdol jika lihat langsung.
Menonton film, mengunjungi pameran atau datang ke event seni dan desain. Bisa juga bergaul dengan komunitas atau kenalan yang gemar berkesenian yang kamu suka.
Karena layar dan internet bisa membuat kita gampang terdistraksi dari apapun. Sebaiknya kita sengaja menjauh dari layar dan komputer sejenak. Agar kita ada momen diam dan menyelami waktu nyeni kita.
Terlalu banyak mendapatkan informasi dari internet dan layar bisa membuat kita overstimulated. Dan akhirnya malah ngga termotivasi melakukan apa-apa.
Pergilah keluar rumah, lakukan jalan-jalan kaki di sekitar atau taman. Atau berkebun, membaca buku dan sebagainya.
Jika kamu sudah cukup terinspirasi dan punya alat-alatnya (ngga perlu mahal dan bisa pakai alat yang ada saja), cobalah berkarya. Contohnya saya, malah meminjam cat air anak (soalnya si kecil juga udah jarang pakai).
Kamu ngga perlu memikirkan hasilnya bagus atau jelek dulu. Coba saja dan bereksperimen. Semua orang nggak selalu bagus dalam percobaan pertama. Lagipula, you are your own judge. Saat-saat pertama, tak perlu perfeksionis atau berusaha sempurna.
Berkesenian juga salah satu cara mengenal diri sendiri. Lagipula, karya tiap orang pasti ada perbedaan karena goresan atau karya tangan itu biasanya otentik satu sama lainnya.
Terakhir, cobalah menjadikan art time kamu sebuah kebiasaan. Saya lagi berusaha membuat waktu melukis seminggu sekali. Meski adakalanya itu adalah sebuah tantangan, tapi saya bersyukur sudah mengusahakan.
Temukan waktu dimana kamu paling bisa fokus berkegiatan seni. Dan ngga usah muluk-muluk dulu. Misalnya berharap ada waktu 3 jam. Kalau belum ada waktunya, bisa sempatkan 15-30 menit dulu.
Jika masih sulit, mungkin kamu bisa cari komunitas yang memotivasimu terus berkesenian. Saya sendiri belum ketemu sih. Tapi saya yakin ada banyak jika dicari.
Terkoneksi dengan jiwa seniman kita mungkin sebuah tanda untuk kita lebih mindful dan mengenali diri sendiri, daripada terbawa kondisi atau arus tren sekitar kita. Yuk coba selami jiwa kesenian kita di dunia yang sudah terlalu tenggelam dengan keberadaan mesin AI dan digital. Siapa tahu kamu merasa ‘baru’ kembali.
Never Let Me Go: Mengapa Saya Lebih Suka Adaptasi Film Dibanding Novelnya - Tema Tantangan…
Dari belajar Etsy, launching ebook Cerita Kuliner sampai sharing pengalaman di WAG Belajar Produk Digital,…
Canva dan Artificial Intelligence (AI) kini jadi dua pilihan utama untuk membuat desain template. Mana…
Update mengenai redesign jurnal refleksi Ibu, Mentari Journal dan versi Bahasa Inggrisnya, Sunrise Journal. Ini…
Produk digital kini jadi peluang menarik bagi ibu rumah tangga yang ingin berkarya sekaligus mendapat…
Momen diam sering dianggap tidak produktif, padahal bisa menjadi ruang me-time ibu sibuk. Di saat…
This website uses cookies.