Review Buku Eat That Frog oleh Brian Tracy – Manajemen waktu menjadi salah satu hal yang saya perhatikan sekali di tahun 2022. Itu karena kesibukan saya meninggi dan semua ‘nampak’ penting. Hampir semua tidak bisa dimundurkan prioritasnya.
Seseorang berpesan agar saya tahu prioritas saya. Namun kok ya tetap saja saya keteteran. Meski saya mencoba belajar untuk lebih prepare, belajar bullet journaling demi menjadwalkan kegiatan ke depan, belajar lebih terampil ketika semua tampak ‘membombardir’ saya untuk dikerjakan sekaligus, belajar mengelola emosi dan lebih tenang dan mencoba berdoa agar saya bisa menjalankan hari dengan baik.. tetap saja sepertinya 1 hari terasa tak cukup dikerjakan semua.
Di tahun 2022 saya juga mengambil lebih banyak kelas parenting online. Namun di Januari ini, seorang pemateri menyarankan saya membaca sebuah buku. Ini karena saya menanyakan bagaimana agar bisa meng-handle jadwal keseharian anak saya dan pekerjaan lepas saya yang tak bisa ditebak kepadatan waktunya. Ia menyarankan saya membaca buku Eat The Frog yang ditulis Brian Tracy. Tak butuh waktu lama (karena saya merasa manajemen waktu itu urgent), saya segera beli bukunya.
Tentang Buku Eat That Frog
Saya tidak familiar sebelumnya dengan istilah “memakan katak”. Yang saya tahu adalah istilah “menginjak katak” yakni kalau di hutan kita menginjak katak berarti akan mendapat pasangan yang (maaf) tidak good looking. Namun berbeda menurut Brian Tracy. istilah memakan katak paling besar dan menjijikkan adalah mengerjakan pekerjaan paling sulit di hari itu di awal hari.
Dan si penulis buku ini juga membahas sederet hal lainnya yang bisa mengubah mindset kita tentang apa yang sebenarnya penting dilakukan di buku ini. Karena sejujurnya tidak mungkin kita mengerjakan SEMUA. Pasti ada yang tidak bisa kita kerjakan dan sebenarnya ada kegiatan-kegiatan yang tidak begitu penting dilakukan. Dengan membaca buku ini, kita seharusnya bisa ‘mengkurasi’ apa saja yang penting dan tidak penting. Sehingga waktu kita lebih efektif, dan kita bisa punya waktu untuk orang-orang terdekat kita. Tidak cuma ‘kelelep’ dengan sibuknya kegiatan, buku inipun menerangkan kenapa kita menunda pekerjaan dan mencoba mengenali hambatannya.
Sebanyak 21 bab dalam buku ini secara umum mendorong kita pembaca untuk membuat daftar; to-do-list yang kemudian dipilah-pilah lagi mana yang terpenting dan tidak, mana penghambat produktivitas, hingga memberdayakan pemakaian teknologi dan sebagainya.
Tapi Brian Tracy juga tidak melewatkan satu bahasan tentang istirahat. Ia pun mengakui bahwa memforsir energi hanya akan melambatkan produktivitas, dan menyarankan cukup tidur hingga mengambil liburan sewaktu-waktu.
Ulasan Buku Eat That Frog dan Hal-Hal Yang Pernah Saya Terapkan
Sejujurnya, bab-bab yang banyak memberi saya insight adalah bab-bab awal. Mungkin karena bab-bab awal adalah esensi dan ‘akar’ dari semuanya, yang sejujurnya adalah apa yang saya (dan banyak orang) kesulitan karena begitu tenggelam dalam kesibukan. Kita pada umumnya ‘tertimbun’ kesibukan yang sebenarnya ‘ngga penting-penting amat’ atau sebenarnya bukan ‘kegiatan bernilai tinggi’ seperti analisa buku Eat That Frog ini.
Walau beberapa bab-bab terakhir, tampaknya tulisan-tulisan ini sudah bukan sesuatu yang baru yang saya baca atau telah terapkan, bab-bab awal membuat saya memikirkan ulang tentang hal-hal yang hanya saya bisa lakukan dan terprioritas.
Tak hanya menuliskan secara detil hal-hal yang harus dilakukan setiap hari, saya dan pembaca diharuskan memilah lagi dari yang terpenting dan memiliki prioritas besar hari itu. Pun dari situ didetilkan lagi, mana yang sebaiknya dilakukan lebih dulu.
Saya tak menyangka ketika sudah menuliskan dan tahu tujuan paling atas saya. Karena tidak seperti yang dicontohkan buku ini, tujuan saya bukan duniawi bahkan lebih ke ‘bekal’ saya ke akhirat. Entahlah apa bisa dipraktekkan ke bab-bab yang menyarankan saya untuk lebih efisien waktu dan lebih mentally focus. Sepertinya, kalau saya tidak salah serap bacaan, buku ini lebih menekankan ke produktivitas sehari-hari dan karir.
Di bab pertengahan, istilah yang digunakan sepertinya berbahasa bisnis sehingga saya harus mencerna berulang kali. Mungkinkah penerjemahan buku ini yang kurang smooth sehingga bahasa di buku terasa kaku dan kurang pas? Kadang kata-kata yang dipilih membuat saya bingung dan mengernyitkan dahi.
Mungkin karena sering kali saya dalam survival mode, sehingga secara alamiah saya sudah menerapkan ‘penundaan kreatif’ yang merupakan satu bab di buku ini. Saya sudah sering menuliskan to-do-list harian, walau tidak sampai sedetil-detilnya (seperti yang disarankan penulis). Sayapun sudah mencoba ‘mengurai’ pekerjaan yang terasa berat agar terasa lebih ‘ringan’. Juga membuat ‘momentum’ dan ‘deadline’ pribadi agar pekerjaan cepat selesai.
Namun saya tidak sadar betapa satisfying memberikan satu contreng pertanda selesai pada tiap poin yang sudah dilakukan, seperti yang dikatakan buku ini juga. Dan cerita bahwa seorang kawan penulis bisa menerbitkan buku karena rutin menulis setiap hari patut jadi teladan. Mencoba menulis konsisten seperti Mbak editor freelance ini adalah satu hal yang juga saya inginkan.
Yang jelas, dari sebelum baca buku ini saya memang tidak lagi kewalahan dengan banyaknya notifikasi di handphone saya. Seperti saran penulis untuk singkirkan ponsel demi fokus tujuan, saya memang sudah ngeh bahwa saya tidak mau lagi ‘diperbudak’ layar. Hal-hal seperti kebutuhan suami dan anak saya tidak bisa diacuhkan. Saya juga memberdayakan fitur digital wellbeing.
Satu hal yang mungkin seharusnya ada di buku ini adalah mungkin contoh kasus dari seseorang dan penerapannya, kesalahan-kesalahannya dan metode yang mungkin berhasil untuk seseorang. Buku ini lebih banyak memberikan contoh kasus dari penulis sendiri dan sayangnya tidak begitu banyak penjabarannya.
Secara umum, buku ini banyak memberikan ilmu demi memaksimalkan produktivitas kita dengan energi yang kita punya. Buku ini cukup memberikan motivasi dan mendorong kita agar efisien dalam berkegiatan yang sesuai dengan tujuan kita. PR selanjutnya adalah kita sendiri yang mau dan niat menerapkan saran-saran dari buku ini.
Penutup
Setelah membaca buku ini, saya harus memberikan waktu khusus untuk memikirkan dan memilah kegiatan harian mana yang terpenting, semi-penting dan memang tidak penting. Atau dengan bahasa buku ini: kegiatan bernilai ‘tinggi’ dan bernilai ‘rendah’. Kegiatan mana yang bisa didelegasikan dan mana yang tidak perlu.
Semoga saya berhasil! Sekian review buku ‘canggih’ ini. Oh ya, apa kamu sudah pernah baca buku ini? Bagaimana menurutmu tentang buku Eat That Frog?
“Melakukan pekerjaan yang sulit di awal hari.”
Haduh, serasa ketabok euy. Aku masih sering pake trik ngerjain soal ujian “kerjakan yang gampang dulu”. Alhasil, pas tiba di kerjaan yang sulit, tenaga dan konsentrasi udah nggak paripurna.
Keren ulasannya, Mbak . Jadi pengen baca bukunya juga.
saya belum baca buku ini dan baru ini baca reviewnya, menairk ya, ingin baca juga jadinya
Belum baca sih sbnrnya, tapi dari poin2 awal yang mbak tulis, sebenernya sudah aku terapkan juga dari sejak kerja dulu. Karena memang ada begitu banyak tugas yang harus dilakuin, jadi aku lebih terbantu kalo ada bullet tasks yang harus dilakuin. Dari situ memang aku bisa pilah2 mana yang harus aku dahulukan, mana yang bisa nanti, dan mana yg bisa aku delegasiin ke anak2 buah.
Kebiasaan itu jadi kebawa saat udah resign. Biar ga bingung kegiatan mana yg harus dilakukan duluan
Pingback: ✓4 Gaya Foto Buku Aesthetic atau Book Photography Yang Bisa Ditiru - Sunglow Mama