Menjadi ‘Tak Terlihat’ Punya Keuntungan Sendiri

invisible-sunglow-mama-1.jpg

Menjadi ‘Tak Terlihat’ Punya Keuntungan Sendiri – Menjawab tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei 2025 mengenai Unpopular Opinion atau Pendapat Tak Populer, saya jadi menyelami pikiran saya yang agak terkesampingkan. Karena banyak perubahan dalam hidup yang bisa merubah atau membuat kita lupa dengan karakter asal kita. 

Nah opini saya yang mungkin akan terasa ‘aneh’ atau tidak biasa adalah nyaman menjadi ‘tak terlihat’. Ya menurut saya menjadi ‘tak terlihat’ memiliki keuntungan sendiri. 

Kontras dengan banyak pribadi yang berlomba menunjukkan diri di era digital ini, saya kini justru lebih nyaman tidak menampakkan diri. Maupun di lingkup sosial, kadang lebih nyaman untuk menjadi pengamat saja. 

Mungkin merasa nyaman ‘tidak terlihat’ ini karena saya juga memiliki kepribadian introvert. Tapi, ada juga sih faktor-faktor lainnya.

Karakter yang Ambivert

Di sekolah saya sering dicap pendiam atau kalem. Saya juga ngga suka jadi sorotan. Jadi seseorang yang suka berbicara di depan umum dan sering dikelilingi banyak orang, bukanlah saya. Dulu sih sempat merasa insecure karena saya nggak bisa gampang dekat dengan semua orang. Tapi saya kini menerima bahwa memang saya bukan orang ekstrovert.

Tapi keseringan terkungkung atau merasa terisolasi juga ngga betah. Walaupun ya, berada dalam keheningan dan ketenangan rasanya menyenangkan. Ada kalanya ingin berbaur dan mengobrol, walau terlalu banyak berinteraksi dengan banyak orang sekaligus bisa membuat energi cepat habis.

Jadinya mungkin kalau ketemuan dengan teman, saya prefer ketemu dengan 2 orang saja at least. Tapi tentu saja semua tergantung situasi. Misalnya sudah lama ngga ketemu teman-teman lama. Atau kopdar dengan teman-teman blogger

Ternyata, mungkin pribadi saya bisa dikategorikan memiliki karakter ambivert. Yakni gabungan dari karakter introvert dan ekstrovert.

Kenapa ‘Tak Terlihat’ Memiliki Keuntungan & Disukai

Menurut saya pribadi, menjadi yang ‘tidak terlihat’ punya keuntungan-keuntungan. Misalnya, ruang geraknya lebih lowong karena nggak diamati terus-terusan. 

Kalau melihat kehidupan artis atau selebriti misalnya, mau kelihatan ‘apa adanya’ tanpa dandan bukan tak mungkin tidak dicela, meski tetap saja cantik aslinya.

Karenanya artis harus terlihat flawless di depan umum. Dan pastinya karena memperhatikan penampilan, berapa banyak pengeluaran dan energi demi terlihat tanpa cela itu? Bukan artis saja mungkin kita sudah agak ekstra mikirin penampilan. 

Saya baru ngeh betapa energi untuk kelihatan menarik itu besar ketika membaca bahwa Mark Zuckenberg memakai model baju dan warna sama tiap hari (entah ya sekarang, bacanya pas dia belum nikah juga sih kalau gak salah). Alasannya agar efisien dari waktu dan energi. Iya juga yaa??

mungkin seperti ini isi rak baju Mark Zuckenberg
sumber foto: unsplash

Tapi karena segitunya mau invisible, jangan juga ngga merhatiin penampilan sih. Karena kalau terlalu gembel pun akhirnya jadi sorotan, haha. Ada anjuran juga di agama Islam untuk menyayangi diri sendiri dan tampil baik. Allah juga suka keindahan, bukan?

Mereka yang FOMO (Fear of Missing Out) biasanya nggak suka atau takut merasa invisible. Karena mindset lebih kepada validasi dari luar atau imej. Sehingga umumnya di era flexing di sosmed ini, mereka ngga mau kelewatan tren. Kecenderungannya mereka memperlihatkan bahwa mereka sudah mencapai A,B,C atau mencoba D,E,F. 

Nah mereka yang nggak FOMO, santai saja. Apalagi yang nyaman ngga merasa harus menunjukkan diri. Ya biasa saja, ngga perlu harus repot dan ikut-ikutan.

Rasanya dulu saya suka ikut berkomentar atau bahkan membuat thread di forum-forum internet. Karena forum internet lebih menonjolkan apa yang kita tulis dibandingkan foto profil atau pencitraan. 

Saya suka masa-masa sosmed masih sederhana seperti f*cebook atau friendster ketika baru rilis. Isinya cuma status sederhana seperti ‘..lagi ngantuk’ atau 1-2 kalimat tanpa maksud pamer atau standout. Kini? Memasang status tidak sesederhana dulu. Belum lagi bicara algoritma dan engagement.

Keuntungan invisible tak hanya lebih sedikit distraksi, tapi juga membuat kita jadi pengamat yang ulung. Mungkin karena lebih menjadi penonton. Bukanlah main actor. Ini juga jadi faktor positif sebagai learner atau murid. 

Memilih ‘Tidak Terlihat” Bukan Berarti Suka Diabaikan

Kebanyakan orang tidak suka merasa invisible karena takut diabaikan. Bukan berarti suara kita boleh dianggap tidak ada. Karena pada dasarnya semua orang punya suara dan perasaan juga. 

Nah karena ada pihak-pihak yang suka ‘tidak diperhatikan’ atau bukan jadi sorot perhatian utama, ini jadi ‘lahan’ buat mereka yang berkepribadian superior atau dominan untuk memaksakan keinginan mereka. Padahal, nggak semua nyaman mengikuti keinginan yang lain. Apalagi jika pendapat kita tidak dianggap atau didengar sama sekali.

Kalau dulu saya berusaha berlapang dada atau menerima dengan setengah hati keadaan-keadaan yang demikian, kini saya berusaha ‘rebel’ dengan tetap mengikuti apa yang saya anggap benar dan adil. Mungkin tak perlu berucap lantang dengan kemauan saya ini tapi lebih kepada tindakan atau action. Karena ini bentuk menghargai dan adil ke diri sendiri.

Bukannya Ngga Pernah Ingin Terlihat 

Ada kalanya saya ingin atau harus visible atau terlihat. Lagi-lagi ini karena menggantungkan validasi pada imej atau pandangan orang lain. Keinginan diterima dan dianggap. Juga ada faktor ekonomi, alias mengiklankan skill demi menambah pemasukan. 

Ada banyak kejadian yang buat saya ngga bisa berkelit jadi sorotan. Salah satunya gara-gara nomor urut siswa di kelas. Saya selalu dapat nomor urut atas karena inisial A di nama saya. Sering kena tunjuk jawab soal oleh guru, hihi

Masa-masa jadi sorotan lainnya adalah ketika ada tugas drama di kelas Bahasa Indonesia, yang kemudian grup kami malah dipilih ikut lomba mewakili sekolah. Kemudian masuk fakultas Seni rupa dan Desain, yang mana rata-rata mahasiswanya senang menunjukkan diri dan kemampuan mereka.

Masa-masa itu rasanya canggung. Tapi saya harus tampil demi survive atau diterima dalam lingkungan.

Tapi yang membuat saya kembali nyaman ga terlihat sepertinya ketika fokus berumah tangga, ketika memutuskan resign dan kerja dari rumah. Saya lupa nyamannya berada dalam bubble atau dunia saya sendiri, bersama suami dan anak. Dulu bubble saya ya cuma saya sendiri di dalamnya. Kini ada dua orang di rumah yang sama sukanya dengan keheningan. 

Nyatanya memang sih di agama sendiri, seorang wanita memang selayaknya ‘tampil’ di depan suami saja. Yang muhrimnya. 

“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu…” Q.S Al Ahzab ayat 33

Filter Keinginan Untuk Tampil

Sebenarnya wajar ada keinginan untuk menunjukkan skill atau kemampuan kita. Tapi semua balik lagi ke tarafnya. Rasanya banyak individu yang ingin tampil untuk alasan-alasan yang sebenarnya kurang esensial. Semua understandable kalau alasan itu demi kebaikan atau demi hal yang positif. 

Tapi untuk alasan-alasan lain, mungkin kita harus lebih seksama apakah segala perhatian dari publik itu perlu.

Misalnya, seorang influencer/selebgrammer yang menampakkan kehidupan keluarganya. Melakukan daily vlog misalnya adalah hal yang bisa jadi bom waktu. Karena lama-kelamaan privasi akan terasa sempit. Benarkah seluruh anggota keluarga setuju kehidupannya disorot? Apalagi dampaknya ke anak-anak yang masih nggak ngerti apa-apa. 

Sama halnya dalam menulis blog. Nggak semua hal bisa ditulis. Seperti yang pernah saya bagikan di tulisan oversharing dalam ngeblog

Menurut saya di era ini, kebutuhan menampilkan diri menjadi overrated atau berlebihan. Belum tentu kita siap dengan penilaian orang atau dengan dampaknya. 

Penutup

Merasa nyaman dengan ‘tidak terlihat’ bukan berarti insecure atau tidak menerima diri sendiri lho, malah justru sudah. Begitulah jabaran saya mengenai merasa ‘tidak terlihat’ memiliki keuntungan tersendiri. Semoga bermanfaat untuk yang membaca.

Referensi : https://www.psychologytoday.com/us/blog/maybe-its-just-me-but/201502/why-everyone-should-try-being-invisible

5 thoughts on “Menjadi ‘Tak Terlihat’ Punya Keuntungan Sendiri”

  1. Kadang aku ngerasa juga kepingin dalam kepompong hehehe … Pernah mengalami saat hamil dan punya bayi lagi diusia 36/37 tahun. Teh Andina pas banget ya dikasih pasangan juga yang setipe. Barakallah …

  2. Yes teh. Dari jaman sekolah karena satu dan lain hal saya suka bersembunyi dalam tekanan.
    Setelah menikah? Saya masih tak terlihat tapi bedanya sekarang dengan prinsip dan Alhamdulillah lebih enjoy.
    Hatur nuhun tulisannya teh Andina

  3. Tos dulu Teh Andina! Aku lebih suka mengekspresikan apapun dalam bentuk tulisan daripada ngomong makanya selalu kena cap pendiem

    Berhubung suami orangnya ekstrovert, akhirnya aku harus menyesuaikan diri. Kalau lagi ketemu banyak orang, sebisa mungkin aku juga beraniin ngobrol sama orang lain. Meskipun pulangnya langsung tepar, energinya habis

    Nah, kalau sekarang memang situasi di US lagi kurang kondusif untuk imigran. Makanya aku berusaha mengurangi jejakku di dunia maya, takut kena masalah imigrasi dan hukum. Ada enaknya juga, kembali ke zona nyamanku yang invisible di dunia maya

  4. Di era yang menuntut kehadiran dan eksis di berbagai sosmed, memilih untuk “invisible” betul-betul antimainstream dan unpopular. Dengan Mamah Andina memilih demikian, brati Andina sudah menemukan nilai dalam ketenangan dan fokus pada passion tanpa HTAG eksternal. Menurutku, berpegang teguh pada prinsip seperti yang Andina lakukan, patut dicontoh.

  5. Mba Andin relate bangettttt aku dengan yg ditulis . Tosss lah mba, Krn aku pun LBH memilih utk ga terlihat, ga suka JD center of attention. Aku LBH suka pekerjaan di belakang layar. Yg mana aku ga perlu terlihat. Bahkan pas kerja dulu, aku LBH memilih kerja tanpa anak buah, sebab dengan adanya anak buah aku hrs selalu di depan.
    Sayangnya yg ini ga terkabul. Tetap aja harus pegang team saat itu.
    Cuma Krn aku ga ambisius dgn karir, jadinya aku ga banyak musuh mba. Staff lain yg saling compete itu kdg sikut2an. Dan aku aman, Krn mereka tahu aku ga ngejar JD yg nomor 1.
    Dalam kehidupan sosial pun aku kdg males ketemu orang yg aku tahu ga bakal se frekuensi. Tp giliran diajak ketemuan Ama blogger, aku semangat. Krn sesama blogger pasti asyik diajak ngobrol

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!
Scroll to Top