Never Let Me Go: Mengapa Saya Lebih Suka Adaptasi Film Dibanding Novelnya – Tema Tantangan Blogging MGN bulan Oktober 2025, “Menyelami Orisinalitas dalam Adaptasi Karya Lintas Medium”, membawa saya pada film Never Let Me Go yang diadaptasi dari novel dystopia 1 dari penulis Kazuo Ishiguro.
Untuk mendalami tulisan ini, saya kembali membaca novelnya dan menonton filmnya lagi. Tak disangka saya menemukan pencerahan besar tentang usaha para pembuat film mengadaptasi karya unik ini.
Tapi sebelumnya saya ceritakan dulu sinopsis novel dan film Never Let Me Go:
Kathy, Tommy dan Ruth adalah murid-murid di Hailsham, asrama di Inggris untuk anak-anak yang diklon untuk dijadikan donor organ. Dikisahkan dari sudut pandang Kathy, murid-murid Hailsham mengalami treatment yang agak berbeda dibanding anak-anak normal.
Meski begitu ketiganya memiliki kedekatan; Kathy dan Ruth bersahabat. Dan Kathy selalu berusaha menghibur Tommy yang sering diejek teman-teman karena gampang marah. Kathy dan Tommy punya ikatan yang spesial. Fakta ini tidak membuat Ruth senang.
Ketika mereka sudah lebih dewasa, ketiganya pindah ke The Cottages, semacam rumah pondok dimana mereka menunggu masa menjadi donor. Saat itu Ruth dan Tommy sudah berpacaran. Alih-alih merasa tersisih, Kathy lebih memilih diam dalam sedih melihat kedekatan mereka.
Suatu waktu Ruth mengatakan ke Kathy bahwa Tommy ‘tidak pernah melihat Kathy sebagai sosok kekasih’. Tak lama kemudian Kathy mengajukan diri sebagai Carer2 dan pergi meninggalkan The Cottages.
Ketika kondisi Ruth tidak membaik menuju donor keduanya, Kathy memilih menjadi carer untuk Ruth. Disitulah Ruth mengakui kesalahannya menginterupsi hubungan Kathy dan Tommy. Ketiganya lalu berkumpul bersama lagi untuk terakhir kalinya.
Kisah Never Let Me Go adalah kisah dystopia science-fiction yang tidak biasa. Kalau lihat film-film yang sepertinya setipe, kamu bisa menemukan novel yang juga dijadikan film seperti Hunger Games atau Divergent yang futuristik dan relatif banyak adegan laga.
Namun Never Let Me Go justru tidak demikian. Ia lebih memilih membahas hubungan antar karakter, cinta segitiga dan bagaimana tokohnya menerima takdir sebagai donor organ.
Kazuo Ishiguro menyatakan ia tidak tertarik membahas sisi fiksi ilmiah yang tokohnya memberontak, karena ia takjub dengan karakter yang menerima nasib mereka.
Kisah ini juga berlatar di tahun 1990an, dimana kemungkinan ada asrama semacam Hailsham dikembangkan demi keperluan medis. Karena dulu sedang naik berita mengenai bioteknologi3, menginspirasi Kazuo membahas sisi ini.
Justru dengan keunikan ini membuat saya menganggap Never Let Me Go spesial.
Tapi novel ini punya perbedaan dari film, yang ketika saya renungkan memang strategis dan lebih praktis dibandingkan disadur semuanya dari novel.
Meskipun begitu, adegan klimaks dari novel ini (setelah saya baru-baru ini baca ulang) membuat saya tercengang dan ‘terkecoh’ dari kisahnya dalam film. Dan ternyata adegan tersebut tidak disebutkan dalam layar lebar.
Kazuo Ishiguro menyebutkan sistem asrama Hailsham yang menutup dunia murid-muridnya ini sebagai ‘menipu’4. Sebagaimana banyak orangtua melindungi kepolosan anak-anaknya dengan berusaha menutup buruknya dunia realita.
Meski begitu, ada nilai kemanusiaan dari bagaimana Hailsham memberi treatment ke murid-muridnya. Yakni dengan membolehkan mereka membuat karya seni dan mendidik mereka dengan baik. Sehingga mereka tumbuh cerdas dan cultured.
Oh ya, saya suka bagaimana Hailsham menganggap karya seni itu penting. Seni dijadikan cara untuk memperlihatkan kemampuan murid-murid Hailsham, walaupun mereka cuma klon. Dan kemudian alasan mengapa mereka harus menciptakan karya seni yang bagus, kelak diceritakan di ujung kisah.
Saya terganggu dengan gaya narasi novelnya yang melompat-lompat. Meski ada hal-hal yang lebih detil dijabarkan di novel, seperti lebih banyak keganjilan karakter-karakter guardian mereka dalam ‘menangani’ murid-murid. Lebih banyak mengenai karya seni murid yang dihargai untuk dipilih Madame, sosok penting di Hailsham dan akan dipilih masuk Galeri.
Banyak orang terpukau dengan kisah Never Let Me Go karena mengingatkan mereka akan mortality: “Suatu saat semua orang akan mati”. Tapi untuk karakter-karakter di kisah ini dan klon lainnya, kapan mereka meninggal telah ‘diatur’.
Mungkin di Barat banyak yang fokus akan dunia, sementara di Timur lebih dekat pada konsep keTuhanan dan konsep kematian.
Tidak seperti novelnya yang berjalan non-linear dalam bercerita, versi film Never Let Me Go diawali dengan adegan Kathy usia 30an mendampingi Tommy dalam salah satu operasi donornya. Kemudian kisahnya kembali ke masa lalu, ketika mereka masih di usia sekolah dasar.
Film Never Let Me Go dibintangi bintang-bintang muda yang saat itu sedang naik daun; Carey Mulligan sebagai Kathy, Keira Knightley sebagai Ruth dan Andrew Garfield sebagai Tommy. Menurut saya film tidak akan berhasil tanpa kepiawaian akting 3 aktor ini.
Terlihat hubungan Kathy dan Ruth meski dekat, kadang terlihat menjadi frenemy atau teman tapi bermusuhan. Bahkan hingga tinggal di The Cottages. Terutama dalam hal kedekatan dengan Tommy.
Namun Kathy selalu terlihat diam dalam walau bergulat dengan emosi. Seperti di novel, Kathy bertendensi menghindari konflik. Mungkin karena ia cuma punya Tommy dan Ruth dalam hidupnya.
Di film, sosok Tommy tidak terlihat banyak sisi sifatnya yang mudah marah. Walau memang ketika sudah remaja, Tommy sudah lebih bisa menguasai dirinya kalau emosi. Di film, Tommy terasa lebih romantis meski tidak blak-blakan. Terlihat dari gesturnya lebih menunjukkan perasaan ke Kathy.
Sementara penulis naskahnya, Alex Garland dan sutradara Mark Romanek memang sudah suka dengan novel Ishiguro. Garland memang berteman dengan Ishiguro5. Dan Ishiguro memang dilibatkan dalam proses pembuatan film.
Ishiguro juga sangat puas dengan adaptasi film Never Let Me Go. Bisa dikatakan terjadi keselarasan visi diantara ketiganya dalam pembuatan film.
Ternyata ada perbedaan adegan klimaks di novel dan film. Di novel, akan diterangkan lebih banyak kenapa seperti ada keharusan untuk membuat karya seni yang bagus di Hailsham. Dan keterangan ini, menurut saya bisa membuat penonton memiliki mixed feelings.
Sekilas di halaman pencarian saya membaca kalau ending film ini diedit di beberapa negara karena bisa menimbulkan keresahan. Apa mungkin dulu saya baca yang versi edit?
Tapi setelah rasa kaget saya lewat membaca hal tersebut, saya sadar bahwa filmmaker berusaha membuat fokus film tetap pada hubungan antar karakter. Dan kisah cintanya. Bisa juga, mereka mencari aman dengan itu.
Terbukti dengan saya yang sempat tercengang dengan keterangan yang ditiadakan di film itu, membuat saya lupa kalau tujuan film ini targetnya apa. Lagi-lagi saya salut dengan Mark Romanek dan Alex Garland. Dengan alasan-alasan yang sudah disebutkan. Bahwa mereka memilih menjaga keindahan utama dari kisah Never Let Me Go.
Namun sayangnya, adegan itu bisa terlihat lebih datar dibandingkan di novel.
Kalau boleh jujur, saya lebih suka filmnya. Karena akting-akting aktor-aktor utamanya, khususnya Carey Mulligan. Ngga mudah untuk memerankan Kathy, yang lembut dan tegar tanpa banyak berkata-kata.
Yang lebih penting, meski kisahnya berpotensi untuk jadi lebih kelam, gelap dan futuristik, saya suka filmnya memilih menonjolkan aspek persahabatan dan kisah cinta, walau tidak menggebu-gebu. Hampir datar, tapi bukan berarti tidak bermakna.
Saya kagum bagaimana penulis naskah dan sutradara tidak terlena akan potensi box office (seperti umumnya pola pikir industri film) dan memilih fokus ke keindahan kisahnya. Dengan begitu film ini juga ngga berusaha membuktikan kehebatan visual yang futuristik dan tipikal adaptasi novel populer-ke-film tipikal di industri Barat lainnya.
Sejujurnya yang membuat kisah Never Let Me Go terkenang adalah karakter-karakternya yang menerima nasib. Mereka tidak meraung-raung dan memberontak dengan takdir mereka. Mereka justru jalani dengan lurus.
Kisah sedih tapi nggak drama ini mengingatkan saya akan nuansa drama Jepang seperti Oshin dan First Love, yang memang Jepang banget (juga memang roots si penulis). Kamu jarang melihat tokoh-tokoh utama di cerita ini menangis. Sedangkan yang menonton sangat mungkin menangis.
Jika umumnya saya suka mencibir dengan dramatisasi dan perubahan yang dilakukan demi “cocok” untuk adaptasi kisah nyata/novel ke film, tapi film Never Let Me Go tergolong cukup sukses. Dia menyederhanakan sekaligus menekankan beberapa aspek, tanpa membuatnya kelihatan murahan.
Saya tersadar juga bahwa narasi di novel akan lebih menantang diterjemahkan ke medium visual seperti film. Terlebih sosok Kathy yang sensitif akan segala sesuatu, seperti gerak-gerik dan raut muka orang. Memang film ini juga memiliki narasi Kathy, tapi tak mungkin semuanya diceritakan dalam waktu 2 jam.
Anyway, sepertinya cukup begitu saja saya menerangkan kekaguman saya akan adaptasi novel ini. Mungkin beda penonton, beda sudut pandang. Jika kamu sudah nonton atau baca kisah ini, bagaimana pendapatmu?
undefined
Dari belajar Etsy, launching ebook Cerita Kuliner sampai sharing pengalaman di WAG Belajar Produk Digital,…
Canva dan Artificial Intelligence (AI) kini jadi dua pilihan utama untuk membuat desain template. Mana…
Update mengenai redesign jurnal refleksi Ibu, Mentari Journal dan versi Bahasa Inggrisnya, Sunrise Journal. Ini…
Produk digital kini jadi peluang menarik bagi ibu rumah tangga yang ingin berkarya sekaligus mendapat…
Momen diam sering dianggap tidak produktif, padahal bisa menjadi ruang me-time ibu sibuk. Di saat…
Menjadi mom blogger bukan sekadar menulis—ada suka dukanya. Kamu harus pintar atur waktu, ide, dan…
This website uses cookies.