“Kalau mau melakukan sesuatu itu sekalian. Atau tidak sama sekali. Mau bagus, bagus sekalian. Jelek, ya jelek sekalian.” Seorang kakak angkatan atas memberikan nasehat kepada adik-adik mahasiswa yang baru masuk FSRD ITB tahun itu. Rambutnya gondrong dan memakai kaus dan jins lusuh serta sendal jepit.
Mahasiswa-mahasiswa baru disitu duduk di lantai bata merah mendengarkan dengan wajah-wajah polos yang lugu penuh determinasi. Bagai spons ingin menyerap segala pengalaman dan pengetahuan baru yang ada di kampus. Ada yang bilang, doa orangtua juga yang membuat mereka masuk fakultas itu selain dari air mata dan perjuangan. Diantara wajah-wajah itu terdapat wajah Rena, yang terlihat bingung campur ragu.
Rena tidak tahu apa dia setuju dengan ucapan si kakak itu. Dia tidak pernah begitu total seperti dia sekuat tenaga ingin jebol masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Habis-habisan mengerahkan segala idenya waktu ujian gambar. Berusaha menjawab tes matematika maupun bahasa sebaik-baiknya. Meskipun itu bukanlah faktor utamanya. Dia memang punya kemampuan menggambar, tapi apa sudah cukup baik masuk kampus impian ini? Kadang Rena cemas sendiri memikirkan itu sampai perutnya terasa melilit.
Jelek, ya jangan sampai jelek – pikir Rena, kembali memikirkan ucapan si kakak kelas berambut gondrong. Siapa yang mau kelihatan jelek? Mungkin Rena masih jaim (jaga image) saja. Namun diberi pesan demikian oleh si kakak bikin sosok pendiam dan pemalunya insecure. Bagaimana mungkin si anak pemalu ini disuruh totalitas?
Apakah totalitas yang dimaksud itu dalam berkostum total, seperti si kakak-kakak kelas yang berpakaian a la manusia dari tahun ‘80an dengan rambut gondrong keriwil berkacamata hitam dan baju sport bergaris putih? Si kakak kelas sengaja menjemput mahasiswa baru ketika keluar dari gedung Gedung Serba Guna habis daftar ulang, lantas disuruh lari sore di bawah payung.
Atau dalam berkarya, kalau mau mengejar keindahan ya all out sekalian. Alias benar-benar mengejar kesempurnaan dengan total beauty. Namun sebaliknya kalau mau hasil karyanya ‘jelek’ ya buatlah yang ‘hancur’ sekalian. Sepertinya itu maksud si kakak, setidaknya dari pengarahannya dalam mengomentari kami dalam salah satu hari-hari Orientasi Mahasiswa Baru.
Ospek Setahun
Yang buat Rena ‘terkaget’ di kampus impian adalah periode ospek setahun yang didapatnya di fakultas ini. Ospek di kampus lain mungkin cuma beberapa hari lalu beraktivitas seperti biasa. Tapi tidak, kampusnya ini mengharuskan orientasi mahasiswa baru selama setahun lamanya. Masuk susah, mau jadi mahasiswa baru pun harus ‘ditempa’. Belum-belum, mereka sudah harus ‘berdandan’ seperti manusia primitif demi acara ‘penerimaan’ mahasiswa baru.
Ya, di awal masuk mereka diberikan arahan untuk harus berkostum dan berperilaku seperti manusia jaman purba. Untuk mengirit dana, muncullah ide menggunakan sisaan spanduk sebagai kostum. Kain-kain itu dirobek dan dibalut sedemikian rupa oleh tiap mahasiswa yang ikut acara itu demi terlihat sebagai manusia primitif. Dan basecamp mereka yang terletak di bagian atas Bandung itu dingin, lebih dingin dari bagian Bandung yang lain rasanya.
Rena takjub dia tidak masuk angin dan sehat. Bahkan sepulangnya dari acara ‘gagal’ itu (mereka akhirnya datang ke fakultas berpikir akan disambut, namun para kakak kelas justru berpakaian futuristik seperti dari planet lain dan mengusir mereka), teman-temannya seangkatan berjalan kaki kembali ke basecamp malam-malam itu. Jalan kaki dengan badan terbalut kaus dan spanduk!
Di antara hiruk pikuknya kehidupan baru sebagai mahasiswa di fakultas impian dan Ospek ini, Rena berpikir sejauh mana ia dapat ‘masuk’ ke dunia baru ini. Selama ini dia cuma ‘jagoan kandang’, alias sekolah di dekat rumah dan itupun disitu-situ saja. Tidak sampai keluar kota dan jauh dari keluarga. Di dunia barunya ini, setiap individu unik dan berbakat. Kadang ia malah merasa ‘biasa-biasa saja’.
Anak Punk Dadakan dan Giant of Rock
“Mungkin kita harus cari bahan dulu ke Balubur.” usul Wita, teman satu angkatan Rena yang juga satu kos dengannya. Saat itu siang hari jelang sore di kos mereka yang adem dan jauh dari kakak kelas dan kehidupan kampus.
Rena diam saja dan berpikir, ‘Oh, No. Ini akhir pekan. Haruskah ke Balubur lagi demi mencari kelengkapan kostum?’ Pergi mencari bahan ke Pasar Balubur bagai kegiatan rutin dalam seminggu, pasti harus beli sesuatu untuk mengerjakan tugas.
Namun mereka tidak jadi sampai harus ke pasar Balubur. Wita mengakali pernik kostum yang mereka punya dengan palu kecil kemudian memasangnya di gelang spons hitam agar terlihat seperti gelang anak punk.
Ya, kali ini kostum yang mereka harus pakai adalah kostum anak punk. Sebenarnya boleh memilih; Punk atau glam rock. Memikirkan harus pakai wig, bercelana ketat dan apalah itu membuat Rena pusing. Cari kelengkapan kostumnya dimana? Lebih mudah memang memakai kostum anak punk.
Kala Wita sedang senang berhasil membuat gelang itu, di belakang ada beberapa mahasiswi yang kuliah di kampus tetangga yang bersiap mau jalan-jalan malam minggu. Rena iri. Mereka disini duduk membuat perlengkapan kostum untuk Ospek yang masih jalan beberapa bulan lagi! Duh, Ospek ya ospek! Hiks, Rena pengen JJS-an dan keluar sejenak dari tegangnya Ospek.
Di acara Ospek ini mereka didaulat ‘cuma’ jadi penonton. Hmmm, penonton itu acara musik Giant of Rock. Rena tidak betah berada disitu sebenarnya. Pun nggak suka dengan musik yang dimainkan, walau mereka harus terlihat penuh semangat. Namanya juga anak introvert, mana betah di kerumunan ramai dan musik bising? Syukurlah malam itu selesai juga.
Arak-Arakan dan Tiang Plang Parkiran
Satu acara puncak di fakultas SR adalah mengarak wisudawan setiap acara wisuda. Di periode pertama, Rena menjadi pengawal wisudawan. Periode ketiga, Rena tidak ikut karena fokus ujian (padahal sudah tidak bersemangat ikutan lagi).
Khususnnya di periode kedua, tema arak-arakannya terinspirasi film Lord of The Rings (kala itu film ini baru saja rilis di bioskop) bertemu dengan era akhir jaman. Ada tiga ‘kelompok’ yang tampil, yaitu kelompok pemanah, kelompok prajurit hitam dan kelompok pemayung.
Rena putuskan untuk menjadi bagian musik. Ia tidak mau jadi ‘pemain panggung’ alias menjadi mereka yang tampil sebagai pengarak. Ia nyaris diajak sebagai pemanah. Yang ketika ia perhatikan, teman-temannya yang jadi pemanah adalah mahasiswi–mahasiswi tercantik seangkatan. Ia nyaris GR (gede perasaan) dipertimbangkan masuk ke dalam kelompok ini. Namun ia merasa cukup menjadi sorotan setelah di jaman sekolah pernah ikut kelas drama sehingga ia putuskan untuk tetap di bagian musik saja.
Alat musiknya? Tiang plang parkiran! Kala mengambil alat musik ini dari basecamp di Sunken Court, orang-orang di sepanjang jalan kampus pasti memperhatikan. Bahkan ia nyaris kehilangan ‘alat musik’nya ini karena diprotes dan dilarang keamanan Kampus. Memang sih plangnya cuma berbentuk tiang karena tanpa kepala alias plangnya sudah copot. Entah darimana ketua bagian musik menemukan penggantinya. Mungkin ia bisa melobi karena plang itu untuk kepentingan wisudaan ITB.
Untungnya ia tidak ‘memainkan’ alat musik ini sendirian, melainkan bersama Ima yang kadang kala tidak kompak dengannya. Maklum, mereka harus ‘bermain musik’ bersama-sama dan kompak. Jika tidak, musik yang mereka mainkan akan tidak terdengar harmonis. Ia tidak begitu dekat dengan Ima, tapi lingkaran pertemanan mereka sama.
Setelah beberapa lama latihan, akhirnya acara puncak arak-arakan wisudawan-wisudawati berjalan lancar. Posisi Rena dan Ima bermain musik di antara tugu Plaza Widya dan kolam Indonesia Tenggelam. Sebenarnya adegan puncak arak-arakannya adalah pertemuan pemanah dengan tentara berbaju hitam, juga Pemayung dan peluncuran pesawat emas di atas kolam.
Seperti biasa, wisudawan dan wisudawati maupun pengunjung cebur-ceburan di kolam Indonesia Tenggelam. Acara itu bagai mencairkan semua rasa tegang Rena dan teman-teman seangkatannya. Alhamdulillah, acaranya lancar. Sepertinya senior-senior pun puas dan tidak melayangkan protes seperti biasanya.
Dalam hati Rena berpikir, bagaimana nanti dia akan jadi wisudawan dan wisudawati itu, diarak mahasiswa baru di fakultasnya. Tapi tahun pertama belumlah usai, dan rasanya masih lama sekali hingga waktu kelulusan itu tiba.
Penutupan Ospek
Disinilah Rena kini, naik mobil truk besar yang dimasuki kira-kira tiga puluhan kepala mahasiswa baru. Menuju Situpatenggang, untuk acara penutupan ospek setahun. Sudah setahun lamanya! Rasanya Rena ingin berteriak melepas ketegangan.
Di Situpatenggang, ia sempat naik perahu menyeberangi danau dengan teman-teman. Sempat sekamar tidur bagai ikan pindang karena area tidur begitu sempit. Air dingin, sedingin-dinginnya sampai ia memakai baju empat lapis. Namun kakak-kakak kelas malah mengajak mereka olahraga dengan semangat. Mereka tidak segalak sebelumnya, kok. Mungkin karena sudah penutupan, jadi sudah lewat waktunya jadi senior galak.
Meskipun iapun tidak tahu seperti apa tahun-tahun kuliahnya ke depan, ia antusias mengakhiri masa ospek setahunnya ini. Disinipun teman-teman seangkatannya sudah lebih berbaur dan kompak. Ia pun telah memiliki sahabat-sahabat yang nyaman dan akrab saat bersama. Masa Ospek memang masa saling mengenal, diluar masa percobaan. Rena pelan-pelan ‘tebal kulit’ karena sudah ‘dipaksa’ malu-maluin berkostum macam-macam.
Di Situpatenggang ini, ia kembali mendengar kakak kelas berpesan untuk selalu total dalam berkarya. Belakangan ia belajar, menjadi total haruslah dalam semua hal. Tidak hanya berkarya, tapi juga dalam keseharian. Bersungguh-sungguh dan penuh ketulusan.
Seperti pekerjaannya kini sebagai Ibu Rumah Tangga dan pekerja lepas. Mungkin bukan membuat kostum, mungkin bukan membuat mural Babakan Siliwangi seperti di tahun keduanya dan mungkin bukan mengerjakan tugas Nirmana. Tapi tetap butuh kesungguhan dan ketulusan.
Kadang di sela kesibukannya, Rena berpikir apa gunanya pengalaman Ospek tersebut. Kalau ia ditanya sekarang, ia akan menjawab ‘untuk dikenang’ dan ‘untuk mengenal fakultasku’. Ia tidak akan mengalami lagi tahun pertama sebagai mahasiswa selepas SMA. Meskipun terkadang absurd dan begitu penuh kejutan, tahun pertamanya di FSRD ITB begitu penuh warna dan takkan terulang lagi.
Tulisan ini dibuat demi memenuhi Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret 2022 dengan tema Fiksi ITB.
Hua seru ya Mamah Andina, dulu aku selalu kagum sama anak-anak FSRD ni, memang super kreatif dan berani malu hehe.
Btw, aku ngebayangin Andina jadi anak punk tapi ga kebayang aja 😀
Wkwkwkwkwk wadawww May, saya sepemikiran niy. Saya juga ga bisa membayangkan Mah Andina yang super-kalem ini jadi anak punk. Ehehe.
Ku juga dulu suka banget dengan nyentriknya anak-anak SR. Ditambah pembawaan mereka yang mostly PD, jadi makin cetar ya dilihatnya. 🙂
Saya kenal beberapa anak SR waktu aktif di unit dan ketika mengambil kuliah umum. Orang-orangnya seru2 dan bener seperti yang ditulis teh Andina.. mereka totalitas. Keren teh fiksinya.. jadi tau ospeknya anak SR kyk apa deh ❤
Saya mungkin seperti Andina juga, introvert dan nggak suka jadi sorotan. Berdandan juga biasa aja, nggak ‘ala anak SR’. Pas wisuda, saya mau minta stiker bintang merah sebagai tanda wisudawan ke junior yang lewat (udah bolak-balik, dia, saya dicuekin aja). Pas saya minta, dia bilang, “Ini (bintang) buat wisudawan SR, mbak.” Lha iya… kamu pikir, aku lulusan Farmasi, apa? Tidak bermaksud mendiskreditkan lulusan Farmasi yaa.
Ahahaha, mungkin dari gaya berdandan-wise, teh Diah ‘kurang SR’ ya Teh. Dandanannya rapih dan feminin ala anak Farmasi ehehe.
Andinaaaa, saat pertama kali membaca cerpen Andina waktu itu, saya 90 persen yakin ini kisah nyata Andina ehehe.
Pemilihan nama RENA pun sepertinya singkatan dari Rezki Andina ya ehehehe. 🙂
Seru sekali ya ospek FSRD, dan aku setuju banget dengan statement nasehat salah satu kakak angkatan, “Kalau mau melakukan sesuatu itu sekalian. Atau tidak sama sekali. Mau bagus, bagus sekalian. Jelek, ya jelek sekalian.” Emejiing.
Pengalaman ospek emang berkesan banget ya. Aku pun berada di angkatan yang saat itu agak ada rasa antipati sama ospek. Tapi aku merasa ospekku seru dan asyik banget buat jadi kenangan seumur hidup. Berat tapi banyak banget ketawa-ketawanya. Walau aslinya sempat mau nyerah juga sih.
Kalau sekarang mikir-mikir, kok mau maunya di ospek setaun, trus pas jadi panitia kok mau maunya repot setaun wahahhaha…
Tapi memang begitu ospek beres, berasa stengah beban idup sebagai mahasiswa sudah lepas hahha #lebay
Sebenernya aku liat ospek di SR jadi seperti memaksa buat berkreasi sepanajng tahun ya. Kadang ada hal-hal yang emang harus agak dipaksa, biar emang jadi, termasuk totalitas nggak datang begitu saja, harus punya komitmen dan pasti akan ada yg maksa-maksa (walaupun itu diri sendiri yang maksa).
Setuju lah dengan senior SR, harus totalitas!