Review Film Budi Pekerti (2023) – Ada sebuah fase di hidup saya saat pindah haluan pekerjaan. Dari kerja kantoran jadi bekerja lepas, dimana profesi saya sebagai pembuat konten. Bekerja sebagai content creator mengharuskan saya menatap dan mengamati media sosial setiap hari. Mencari konten yang sedang viral atau mungkin akan jadi populer.
Dari situ saya jadi melihat perilaku manusia yang sering disebut netizen sehari-hari. Kecenderungan mereka, cerita-cerita apa yang trending dan bahkan mengetahui motif mereka membuat konten. Ada masa-masa saya dibuat ‘kenyang’ dan bahkan mual melihat konten sosmed, yaitu biasanya di masa pemilu dan di masa topik sangat viral sampai berbulan-bulan ngga berhenti diomongin.
Selain dari Buku Digital for Good, rasanya belum ada referensi mengenai dunia internet yang positif (yang saya tahu). Film seperti Social Network misalnya, memperlihatkan parahnya dunia bisnis internet sampai sikut-sikutan siapa yang pencetus ide dan siapa yang mendanai.
Sudah seharusnya ada film yang ‘menyenggol’ netizen bahwa banyak kelakuan kita di internet tidaklah etis. Kelakuan seperti framing dan menyudutkan seseorang yang tidak kita suka misalnya. Alhamdulillah ada film seperti Budi Pekerti (2023) yang membahas mengenai perlakuan ini.
Sudah agak lama saya mau menonton, tapi akhirnya film ini tersedia di N*tflix. Saya senang sudah memilih film ini untuk ditonton. Begini sinopsis dan pendapat saya mengenai film yang berjudul Andragogy dalam bahasa Inggris ini:
Sinopsis Film Budi Pekerti (2023)
Film Budi Pekerti mengisahkan sosok guru perempuan Bimbingan Konseling di SMP, Ibu Prani (Sha Ine Febrianty) yang disudutkan melalui video di internet di era Pandemi. Aslinya ia hendak menegur seseorang yang ingin menerobos antrian kue tradisional di pasar, namun di-framing sebagai sosok yang kasar karena tidak percaya bahwa sosok yang mengantre sebenarnya tidak bersalah.
Dampak dari video tersebut, pekerjaan dan pencalonan Ibu Prani untuk jadi calon Kepala Sekolah terancam gagal. Padahal ia membutuhkan pemasukan tambahan untuk ekonomi keluarga. Ini karena mau nggak mau fungsi dirinya bergeser jadi kepala keluarga. Ibu Prani memiliki suami yang sedang terkena depresi akibat usaha bisnis yang gagal.
Imej anak-anaknya yang juga sedang berjuang mencari pendapatan juga luntur. Kedua anaknya mengandalkan kepopuleran internet dan media sosial untuk sukses. Mereka juga sudah nunggak membayar uang kontrakan rumah dan terancam diusir.
Pihak-pihak yang terlihat mendukung Ibu Prani memperlihatkan niat aslinya ketika image negatif Ibu Prani memburuk. Ibu Prani jadi serba salah ketika ingin melindungi dirinya dan keluarganya juga pihak-pihak yang sebenarnya dijebak demi keuntungan yang menyudutkannya.
Ulasan Mengenai Film Budi Pekerti (2023)
Banyak hal yang saya ingin banget orang netizen tangkap dari film Budi Pekerti. Sepertinya memang disengajakan bahwa sosok korban di film ini adalah Ibu Prani, sosok pendidik dan seorang guru Bimbingan Konseling yang sudah tentu tahu banget mengenai adab dan etika, juga perilaku yang sebaik-baiknya.
Ia sudah bertahun-tahun mengajarkan dan memberikan anak-anak didiknya untuk merasakan ‘refleksi’ alias hukuman atas kelakuan buruk mereka. Makanya jadi curam imej yang diperlihatkan di internet, perempuan kasar yang tidak suka mengantre versus Ibu guru BK yang terdidik dan ‘harum’ namanya.
Meskipun Ibu Prani terlihat sebagai korban, tapi sejujurnya kasus cancel culture dirinya ini juga menguji orang-orang sekitarnya. Dari anak-anaknya, Muklas (Angga Yunanda) yang jadi pembuat konten dan Tita (Prilly Latuconsina) yang jadi anak band dan menjual baju preloved.
Juga guru-guru di sekolah, teman-teman di perkumpulan ibu-ibu senamnya sampai anak-anak didiknya serta orangtua murid. Sampai media yang ‘menggoreng’ kasus dirinya ini demi mendulang banyak klik dan views.
Sesuai judul film ini, melihat perilaku netizen di era digital ini memang krisis budi pekerti. Jadi ingat dulu akhir ‘90an, sejujurnya saya termasuk netizen yang suka berkomentar di forum-forum (karena belum masuk media sosial).
Karena dunia internet jangkauannya luas dan secara fisik kita tidak bertatap langsung dengan yang kita ‘temui’ di internet, ada perasaan bahwa kita ‘kebal’ dari jangkauan orang lain. Mungkin itulah kenapa banyak orang lebih berani di dunia internet ketimbang langsung bertatap muka. Dengan mudah kita menyudutkan dan mengomentari orang lain, namun lupa bahwa ‘perilaku’ kita bisa punya efek besar.
Bagi orang-orang yang memiliki kedudukan penting dan berpengaruh, mereka bisa menciptakan atmosfer di internet yang mendukung mereka. Namun bagi orang-orang kecil seperti Ibu Prani, meskipun di keseharian dan nuraninya baik, tetap akan tergerus opini publik.
Sejujurnya saya menunggu-nunggu kala Ibu Prani jadi stres. Tapi sepanjang film ini saya tidak melihatnya. Apakah sebenarnya Ibu Prani suka sholat malam atau punya ‘pelepasan’ lain namun tidak diceritakan karena suatu alasan, saya ngga tahu. Nah apakah ini juga normal atau ngga wajar, silahkan nilai sendiri.
Yang jelas, akting Ine Febrianty sangat natural dan sangat layak disanjung. Dan ngga cuma dari akting, dialek dan penampilan. Totalnya sampai kondisi kulitnya yang tidak terawat dan lama terkena matahari, layaknya perempuan yang nggak ada waktu ngurus diri selain pekerjaan dan keluarganya sehari-hari. Ngga peduli kelihatan jelek, tapi memang aslinya aktris ini berparas ayu sih. Kalau di serial Gadis Kretek sebenarnya agak sayang karena ngga banyak porsi beliau sebagai ibu si pemeran utama, tapi di film ini cukup terbayar penampilannya.
Saya suka bagaimana film ini memperlihatkan adab-adab yang mungkin terlewat, namun sebenarnya penting. Seperti bagaimana Muklas meminta ibunya memberikan video klarifikasi via media sosial tapi ketika proses rekam selesai, Muklas meninggalkan Ibunya sendiri sambil sibuk menatap layar ponselnya sendiri. Memperlihatkan sisi ke-aku-an kebanyakan orang.
Lalu ketika Tita meminta izin merekam Ibu penjual kue tradisional yang sudah lansia, namun pihak keluarga si Ibu tidak mengetahui. Adab-adab ‘kecil’ demikian sering terlewat di pemikiran anak muda, bahwa ada langkah-langkah etika yang seharusnya dilalui sebelum posting sesuatu di dunia maya.
Tak hanya dari pesannya yang berbobot, sinematografinya pun sarat makna. Misalnya memanfaatkan jendela di rumah kontrakan tua yang mereka tempati.
Penutup
Film Budi Pekerti ini saya rekomendasikan bagi pembaca dan netizen. Khususnya yang butuh menatap realita bahwa kasus menjebak seseorang di media bisa mengakibatkan pengaruh yang besar, bahkan bumerang ke diri sendiri. Bahwa kita butuh pikir-pikir lagi sebelum menyudutkan orang lain di dunia maya. Maupun di non dunia maya.
Realitanya, tidak ada yang bisa mengajarkan adab dan etika kecuali sudah embedded dari lingkungan terdekat dan dilatih. Ini renungan juga untuk diri sendiri.
Dan bisa kontras sekali, sosok kita di dunia nyata dan di dunia internet. Karena kita seolah tidak terjangkau orang lain, namun sesungguhnya kita juga bisa sangat terekspos di saat yang sama.
Begitulah pendapat saya mengenai film ini. Apakah kamu sudah menontonnya? Bagaimana menurutmu mengenai kasus-kasus viral di internet, yang baik maupun buruk?